Dalam banyak hal dalam hidup, saya memiliki banyak sekali pertanyaan. Kenapa begini? Kenapa begitu? Kenapa harus begini? Kenapa harus begitu?
Awal saya masuk kuliah saya merasa punya banyak sekali kosakata baru, salah satunya adalah kaderisasi. Saya yang awalnya adalah seorang yang dikader sekarang menjadi seorang pengkader. Kemudian saya termenung. Lama. Berfikir (lagi). Bukan, bukan tentang bagaimana tata cara mengkader yang baik, karena bagi saya hal semacam itu relatif bagi setiap orang. Bukankah sebaik apapun sebuah sistem selalu ada orang yang tidak suka?
Yang akan coba saya bahas kali ini adalah tentang esensi dari kaderisasi menurut saya pribadi. Tolong digaris bawahi, menurut saya pribadi. Jika dua tahun yang lalu saya ditanya, "Apasih esensi dari kaderisasi?" saya akan menjawab dengan bangga apa yang sudah saya dapat saat pengkaderan. Namun belakangan saya baru sadar bahwa esensi dari kaderisasi itu bukan terletak saat kita dikader, bukan pula euforia pasca pengkaderan.
Saya baru sadar bahwa esensi dari kaderisasi itu adalah proses dari setelah kita dikader. Jadi barangkali, berhasil tidaknya suatu kaderisasi itu baru bisa dilihat satu, dua, atau bahkan tiga tahun setelahnya. Setahun pertama misalnya, apakah kita masih punya visi misi yang sama? Setahun berikutnya, apakah kita sudah benar-benar paham tentang arti kepedulian terhadap sesama? Apakah kebiasaan judgemental itu masih ada? Apakah kita masih punya semangat yang sama? Apakah masih sama seperti dulu? Karena konon waktu membuat segalanya tak lagi sama.
Jadi, jika ada pertanyaan apakah kaderisasi itu berhasil atau tidak, saya rasa masing-masing dari kita punya jawabannya.
Dari sudut kamar komplek perumahan yang asri,
Seseorang yang merindukan zona nyamannya