Minggu, 30 Agustus 2020

Prolog: Aru (Cerita Bersambung)

Cuaca hari ini tidak terlalu panas, tapi tidak mendung; cuaca favoritku, padahal jam di dinding menunjukkan pukul dua belas siang.

Ku lemparkan tubuhku ke atas sofa ruang tengah diikuti nafas berat.

"Kenapa ya gue susah banget punya cewe?" aku bertanya lebih kepada diriku sendiri.

"Lo kelewat kaku, mirip kanebo kering." tiba-tiba suara tak asing menimpaliku.

"Sembarangan lo!" meluncurlah seonggok guling tepat ke wajahnya. Dia Aru; sahabatku.

"Kalo gue kaku, sekarang lo ngapain di sebelah gue hah?" lanjutku.

"Yakan gue sahabat lo, gue udah hafal kali tabiat lo." dia mencoba menyanggah.

"Yaudah, kalo gitu lo mau ngga jadi cewe gue?" tantangku.

"Kagak." jawabnya cepat, singkat, padat.

"Sialan lo!" kali ini bantal yang mendarat di kepalanya.

"Ya lu juga geblek, masa cewe tiba-tiba lo ajak jadian." ledeknya.

"Emang salah ya kalo gue naksir cewe terus gue ajak dia jadian?"

"Lo hidup di zaman kapan sih? Dinasti Joseon? Kebanyakan nonton drama kolosal lo! Lo ngerti istilah pdkt ngga sih?" selorohnya.

"Daripada lo ngeledek gue, mending bantuin cari solusi."  

"Ya lo ajak kenalan, ajak jalan, jadi orang yang selalu ada buat dia, jadi tempat dia curhat, buat dia nyaman sama lo,"

"Lo tau kan itu bukan gue banget." potongku cepat.

"Tadi lo nanya solusi, giliran gue kasih, lo alesan. Serah lo deh kalo emang lo mau jomblo seumur idup." nadanya agak kesal.

"Yaelah, gitu aja ngambek. Kan ada lo." Kataku tersenyum genit.

"Idih. Ogah gue sama lo." nadanya masih kesal.

"Yakin?" kataku sambil tersenyum yang dimanis-maniskan.

"Stop it. Serem." kali ini agak jijik.

Ganti aku yang merajuk.

"Ambilin dong." katanya menunjuk biskuit di atas meja.

"Lah lu kan bisa ambil sendiri." kataku masih merajuk.

"Peritungan amat lo jadi orang, pantes jomblo dari lahir."

Aku menatapnya sengit sambil merogoh biskuit di atas meja.

"Lo sendiri ngga pingin apa punya cowo?" tanyaku.

"Lo ngga usah khawatirin gue, banyak yang mau sama gue. Mending lo khawatirin diri lo sendiri. Taun ini lo udah dua lima."

Ada hening yang cukup panjang.

"Aruuuu waktunya makan siang!" Suara ibu memecah keheningan.

"Guk guk!" dengan sigap dan mata berbinar Aru mengahmpiri ibu.

-

Bersambung

Kamis, 07 Maret 2019

Paradoksitas

Dalam perjalanan hidup, aku bertemu banyak orang, bicara dengan jutaan isi kepala. Orang-orang yang awalnya asing menjadi dekat, begitu sebaliknya. Namun, aku masih tidak suka keramaian. Aku masih lebih sering menjengkelkan daripada menyenangkan. Aku masih tidak suka berinteraksi dengan banyak orang. Ada kalanya aku ingin berbincang, tapi aku bukan tipe pembuka pembicaraan. Ada kalanya aku senang bercanda, tapi tak jarang aku sekaku pohon; sediam batu. Aku masih tidak suka kedekatan yang tidak perlu. Aku lebih suka sesuatu yang singkat-padat-jelas, tapi aku cenderung berbelit-belit pada kehidupan; kesulitan menyusun kata menjadi maksud secara lisan. Aku suka mendengarkan, tapi aku seringkali merasa tidak sama sekali berguna karena hanya mampu mendengarkan. Aku masih sulit percaya pada makhluk yang menyebut diri mereka manusia. Aku bisa bersikap demikian manis, tapi lebih sering tidak sabaran. Masih sarkas pada hal-hal yang berkaitan dengan ketulusan. Aku masih keras kepala.

Lalu suatu hari aku bertemu denganmu.

Kau membuatku mendefinisikan ulang kata "Aku" menjadi tidak boleh egois dan keras kepala. Dulu, "Aku" selalu menganggap bahwa hidup adalah tentang diri sendiri. Namun, sejak kau hadir dalam hidupku, kau menarikku keluar dari zona (ny)amanku. Membuatku berinteraksi dengan banyak orang; menciptakan kedekatan yang seharusnya tidak perlu. Membuatku percaya pada hal-hal yang berkaitan dengan ketulusan. Membuatku mulai mempercayai makhluk bernama manusia.

Kau mungkin tidak pernah tahu seberapa banyak kau telah mengubah hidupku. Kau mungkin tidak pernah menyangka bahwa aku sempat mendefinisikan kata "Kamu" menjadi seseuatu yang pantas diperjuangkan.

Terima kasih telah mengajarkanku bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri. Bahwa suatu hari kelak aku akan berbagi hidup dengan laki-laki penyabar, laki-laki dengan hati seluas samudera yang mengizinkanku menyelam di dalamnya, laki-laki yang tidak akan pernah menyerah sekalipun mencintaiku menjadi tidak mudah.

Jumat, 25 Agustus 2017

Kaderisasi (Opini)

Menurut KBBI pengkaderan atau kaderisasi adalah proses, cara, perbuatan mendidik, atau membentuk seseorang menjadi kader. Kalau dilihat dari artinya sih seharusnya pemahaman tentang kaderisasi adalah proses seumur hidup, bukankah dididik dan mendidik itu terjadi selama kita hidup?

Dalam banyak hal dalam hidup, saya memiliki banyak sekali pertanyaan. Kenapa begini? Kenapa begitu? Kenapa harus begini? Kenapa harus begitu?

Awal saya masuk kuliah saya merasa punya banyak sekali kosakata baru, salah satunya adalah kaderisasi. Saya yang awalnya adalah seorang yang dikader sekarang menjadi seorang pengkader. Kemudian saya termenung. Lama. Berfikir (lagi). Bukan, bukan tentang bagaimana tata cara mengkader yang baik, karena bagi saya hal semacam itu relatif bagi setiap orang. Bukankah sebaik apapun sebuah sistem selalu ada orang yang tidak suka?

Yang akan coba saya bahas kali ini adalah tentang esensi dari kaderisasi menurut saya pribadi. Tolong digaris bawahi, menurut saya pribadi. Jika dua tahun yang lalu saya ditanya, "Apasih esensi dari kaderisasi?" saya akan menjawab dengan bangga apa yang sudah saya dapat saat pengkaderan. Namun belakangan saya baru sadar bahwa esensi dari kaderisasi itu bukan terletak saat kita dikader, bukan pula euforia pasca pengkaderan.

Saya baru sadar bahwa esensi dari kaderisasi itu adalah proses dari setelah kita dikader. Jadi barangkali, berhasil tidaknya suatu kaderisasi itu baru bisa dilihat satu, dua, atau bahkan tiga tahun setelahnya. Setahun pertama misalnya, apakah kita masih punya visi misi yang sama? Setahun berikutnya, apakah kita sudah benar-benar paham tentang arti kepedulian terhadap sesama? Apakah kebiasaan judgemental itu masih ada? Apakah kita masih punya semangat yang sama? Apakah masih sama seperti dulu? Karena konon waktu membuat segalanya tak lagi sama.

Jadi, jika ada pertanyaan apakah kaderisasi itu berhasil atau tidak, saya rasa masing-masing dari kita punya jawabannya.



Dari sudut kamar komplek perumahan yang asri,
Seseorang yang merindukan zona nyamannya

Rabu, 19 Oktober 2016

19 hal yang aku temukan dipenghujung usia 19

Ada beberapa hal yang baru aku sadari saat usiaku menjelang 20. Seperti gang-gang sempit di sudut kota Jogja dan gemerlap kota Jakarta, kamu akan menemukan ironi dan paradoks disaat bersamaan. Jika kamu merasa ini akan sia-sia, hentikan disini dan lanjutkan hidupmu. Tapi jika kamu merasa ini akan penting, lanjutkan dan berdoalah kamu tidak akan menyesal setelah membacanya.

1. Aku lahir pada 20 Oktober, membuatku menjadi seorang Libra; rasi bintang yang redup.

2. Aku akan menganggapmu tidak ada jika aku peduli. Aku akan mendiamkanmu jika kamu cukup lucu, cukup pintar, cukup membaca buku, cukup mendengarkan lagu, dan cukup menonton film. Jika kamu cukup menarik untuk membuatku mendiamkanmu, berarti kamu istimewa dan kita bisa jadi teman, hanya teman, tidak lebih. Karena aku tidak suka kedekatan yang tidak perlu. Kecuali, hanya kecuali jika kamu menyukai band rock indie asal Australia bernama Last Dinosaurs.

3. Aku tidak tahu apa-apa soal musik.

4. Aku dulu suka hujan, sebelum akhirnya bertemu teduh.

5. Aku suka puisi.

6. Entah sejak kapan aku lebih suka es krim vanilla daripada coklat.

7. Kadang aku berharap tidak pernah jatuh cinta, kadang aku berharap mudah jatuh cinta.

8. Aku setuju bahwa membaca buku adalah sebuah ritus suci. Kamu perlu menyiapkan tubuh dan jiwamu, tempat yang bersih, udara yang segar, musik yang lirih, serta konsentrasi penuh. Membaca adalah usaha mencintai diri sendiri. Membaca memberiku sesuatu yang baru untuk diketahui dan dipikirkan.

9. Aku suka menulis. Tapi bagiku menulis bukan sebuah hobi. Ia adalah pizza. Ia adalah indomi goreng di tengah malam. Ia adalah selai nanas dalam nastarmu, mustard di nachosmu, gula di es jerukmu. Ia seperti drama korea yang telah kamu tonton berulang-ulang. Bagiku, ia adalah proses menjadi.

10. Ada kalanya aku suka bercanda, tapi tak jarang aku sekaku pohon; sediam batu. Aku bisa berubah menjadi menyenangkan, tapi aku juga seringkali menjengkelkan; tak sama sekali ramah dan tak sama sekali memandang dunia dari sisi yang menyenangkan. Aku terbiasa pergi sendirian. Tak perlu dijemput atau ditemani. Karena aku tidak suka merepotkan; karena aku merepotkan. Aku sekaku itu; semembosankan itu.

11. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus aku akui aku adalah seorang melankolis yang percaya pada hal-hal romantik. Seorang platonik yang sulit disadarkan dan diselamatkan. Aku percaya pada hal-hal yang barangkali lebih cocok menjadi cerita picisan novel kelas dua. Perempuan kurang akal sehat seperti tokoh utama dalam novel Shakespeare. Tapi bukankah tidak semua orang waras?

12. Aku suka perjalanan. Aku suka bus yang melaju di jalan sepi pada malam hari dan suara bising kereta api di pagi buta. Lampu jalan yang temaram dan sisa tetesan air hujan yang melekat di jendela seolah mengajakmu keluar sebentar dari benang merah kehidupan. Perjalanan membawamu dari satu tempat asing ke tempat asing yang lain sebelum akhirnya pulang dan menyadari bahwa hidupmu terlalu singkat untuk dihabiskan di perjalanan.

13. Aku hanya punya dua jenis baju; kemeja dan bukan kemeja.

14. Aku hanya punya dua jenis warna baju; merah jambu dan bukan merah jambu.

15. Aku lebih suka pantai daripada gunung.

16. Warna favoritku adalah langit di depan jendela kamarku seusai subuh.

17. Aku suka tidur; benar-benar suka tidur. Kapan saja dan dimana saja. Tidur menyelamatkanku dari hidup. Memberiku jeda untuk berhenti. Membuatku tidak berpikir dan tidak berharap.

18. Kadang aku merasa lebih dari yang lain. Lebih baik, lebih tahu, lebih pintar, lebih peduli, lebih peka, lebih bekerja, lebih berpikir, lebih merasa, lebih mengerti. Dan pada akhirnya aku menyadari bahwa aku hanyalah sekumpulan ego yang menolak untuk ditundukkan.

19. Seorang laki-laki hangat dan sederhana pernah menundukkan hampir semua egoku dan tanpa aku sadari sebagian egoku yang lain mungkin telah melukainya.

Prolog: Aru (Cerita Bersambung)

Cuaca hari ini tidak terlalu panas, tapi tidak mendung; cuaca favoritku, padahal jam di dinding menunjukkan pukul dua belas siang. Ku lempar...